TASAWUF IRFANI
A. Pendahuluan
Di samping tasawuf
akhlaqi yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan,
dan perkataan yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya lebih
tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar
manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya
tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak
ingin dipuji, atau jika di puji pun, tidak pernah berubah, dan bila dicaci maki
pun tak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah.[1]
Secara etimologi,
kata ‘irfan merupakan kata jadian mashdar dari kata ‘arafa’ (mengenal atau
pengenalan). Adapun secara terminologis ‘irfan di identikan dengan ma’rifat
sufistik.Orang yang ‘irfan atau makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar
mengenal Allah melalui dzauq dan kasyuf (ketersingkapan).[2]
Tokoh-tokoh sufi
yang termasuk ke dalam Aliran tasawuf irfaniadalah Rabi’ah Al-adawiyyah dengan
konsep mahabban-nya, Dzun An-Nun Al-Mishri dengan paham makrifat-nya,
Abu Yazid Al-Bustami dengan paham fana’ dan baqa’, dan Abu Manshur
Al-Hallaj dengan paham Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud.
Untuk lebih
memahami tasawuf irfani, berikut ini dikemukakan biografi tokoh-tokoh tasawuf
irfani dan ajaran-ajarannya.
B. Rabi’ah Al-Adawiyah
1. Riwayat Hidup
Rabi’ah yang
bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah,
diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/717 M disebuah perkampungan
dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia
putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tua nya meninggal
ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah,
ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu
Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-‘Adawiyyah. Pada
keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena
tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi
seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah
dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan
sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya
hanya dengan beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus
kekasihnya. Ia memperbanyak tobat menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan,
dalam do’anya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini
ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah, menurtnya, sebelum bertobat pernah
menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan
lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam
kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya
adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman
dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah
sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah
Al-Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme islam sebagai peletak dasar
Tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis
aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan penghargaan kepada
Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas
dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan
pandangan Rabi’ah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat, Rabi’ah menyatakan do’anya, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang
mencintaimu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan
melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada kami.”
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling Masyhur adalah:
Aku mencintaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena dirimu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkanmu.
Cinta karena dirimu adalah keadaan mengungkapkan tabir sehingga
engkau kulihat.
Baik ini maupun itu, pujianlah bukanlah bagiku.
Bagimu pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah,
yaitu hubb al-hawa dan hubb anta ahl lahu, perlu dikutip tafsiran
beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qubub
sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa cinta yang timbul
berasal dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah, sedangkan yang
dimaksud dengan nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual, sehingga
hubb disini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb
al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah, dan
tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab Rabi’ah tidak
memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat. Adapun al-hubb
anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi
didorong Dzat yang dicinta. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan
apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan
cintanya kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu,
Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut:
“ mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah
cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunianya di dunia ini, sedangkan cinta
kepadanya adalah karena layak dicintai keindahan dan keagungannya yang
tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan
mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti
disabdakan dalam Hadis Qudsi, ‘ bagi hamba-hambaku yang saleh, Aku menyiapkan
Apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit di
kalbu manusia’.”
Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh
relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama Allah. [3]
C. Dzun An-Nun Al-Mishri
1. Riwayat Hidup
Abu al-Fayd
Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang
dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan).[4]
Dzun An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang
tinggal disekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu
Al-Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri. Ia dilahirkan di Ikhmim,
dataran tinggi Mesir tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M.
Julukan Dzun An-Nun diberikan padanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya
yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya, ia pernah mengeluarkan seorang anak
dari perut buaya dalam jeadaan selamat disungai Nil atas permintaan ibu dari
anak tersebut.
Asal mula
Al-Mishri tidak banyak diketahui, tatapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak
diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya ber[indah dari suatu tempat ke
tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait
Al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan
Lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan
mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang
ilmu fiqh, ilnu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil
pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia
mengambil riwayat hadir dari Malik, Al-Laits, dan lain-lain. Adapun yang pernah
mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy.
Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy.
Hal ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu
syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri,
sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang
memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang
berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang
pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah
mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak
dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut
cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu
tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian
untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkan ia harus
berhadapan dengan gelombang protes yang disertai tuduhan Zindiq. Akibatnya, ia
pernah dipanggil mengahadap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan
dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali
diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Mishri
a. Pengertian Makrifat menurut Dzu An-Nun Al-Mishri
Al-Mishri adalah
pelopor paham makrifat. Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang
maqrifat dalam bidang sufisme islam. Pertama, ia membedakan antara makrifat
sufiyah dan makrifat aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan
pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan akal
yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat
sebenarnya adalah musyahadah qalbiyyah (penyaksian hati) sebab makrifat
merupakan fitrah dalam hati manusia secara azali. Ketiga, teori-teori
makrifat Al-Mishri merupakan gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya kemudian
dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan
Al-Mishri tentang makrifat pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog.
Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq. Karena itu pula, ia ditangkap
khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangan tentang
makrifat:
1. Sesungguhnya makrifat
yang hakiki bukanlah imu tentang keesaan tuhan, sebagaimana yang dipercayai
orang-orang mukmin. Bukan pula ilmu burhan dan nazhar milik para
hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan
Tuhan yang khusus dimiliki oleh para wali Allah. Hal itu karena mereka adalah
orang yang menyaksikan Allah hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak
di bukakan untuk hamba-hambanya yang lain.
2. Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu
denga cahaya makrifat yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat,
kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah
sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaanya, mereka merasa hamba, mereka
berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah kepada lidah mereka, mereka
menglihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan peerbuatan Allah.
Al-Mishri membagi
pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam,yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim.
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama.
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun
Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam dalam
kategori pengetahuan hakiki tentang tuhan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri memiliki sistematika sendiri
tentang jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks ajarannya, Abdul Halim Mahmud
menggambarkan sistematika Al-Mishri
sebagai berikut:
1. Ketika ditanya tentang
siapa sebenarnya orang bodoh itu,
Al-Mishri menjawab, “Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada
usaha untuk mengenalnya.”
2. Al-Mishri mengatakan bahwa jalan menuju Allah itu ada dua macam,
yaitu thariq al-inabah dan thariq al-ithiba’.
2. Di sisi lain Al-Mishri mengatakan bahwa manusia terdiri atas dua
macam, yaitu darij dan wasil.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam
al-maqrifat, Al-Mishri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-nya yang
terdapat dialam semesta dan makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi
merupakan pemberian Tuhan, rahmat, dan
nikmatnya.
Adapun tanda-tanda
bahwa seorang itu arif, menurut Al-Mishri adalah sebagai berikut:
1. Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
2. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
3. Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan
tirai-tirai larangan Tuhan.
b. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal.
Pandangan
Al-Mishri tentang maqamat dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah,
ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridha. Dalam dairah Al-Ma’rifat
Al-Islamiyat terdapat keterangan yang berasal dari Al-Mishri, yang
menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai
kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Walaupun
demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Mishri
lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis
sesudahnya.
Menurut Al-Mishri,
ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khusus. Dalam
ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar
dianggap sebagai dosa oleh al-muqabarin. Pandangan ini mirip dengan
pernyataan Al-junaidi bahwa tobat adalah ‘engkau melupakan dosamu’. Pada tahap
ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka
karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir
yang berkesinambungan.
Lebih lanjut,
Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
·
Orang yang
bertobat dari dosa dan keburukannya.
·
Orang yang
bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
·
Orang yang
bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat
sebagai keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebut diatas. Pada
pembagian ini, Al-Mishri membagi lago orang khawas menjadi dua bagian,
sehingga jenis tobat dibedakan menjadi tiga macam. Perkembangan pemikiran itu
merupakan salah satu refleksi dari proses pencarian hakikat oleh seorang sufi
yang mengalami tahapan secara gradual.
Keterangan
Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan
dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika, ia menjenguk orang yang sakit. Ketika
orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar
bagi orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu
kemudian menimpal, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan
dari suatu cobaan.”
Berikut ini sebuah
contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya dibelenggu sambil dibawa
kehadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia bekata, “Ini adalah
salah satu pemberi Tuhan karunia-nya. Senua perbuatan tuhan merupakan nikmat
dan kebaikan.”
Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Mishri mendefinisikan
sebagai ‘berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan
kekuatan. Intiya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai
perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah
mengandung arti pasif atau ‘mati’. Ungkapan seperti ini dikemukakan oleh Abu
Ya’qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakkal adalah kematian jiwa tatkala ia
kehilangan peluang, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
Ketika ditanya
tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah
kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Al-Qannad, ar-ridha adalah ketenangan hati
dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua ini pada dasarnya menunjukkan makna
yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata. Al-Mishri memilih
kata ‘surur al-qalb’ untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qannad memilih
kata ‘sukun al-qalb’.
Berkenaan dengan ahwal,
Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan
pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda
orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad
SAW. Dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunahnya. Artinya,
orang-orang yang mencintai Allah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah
Rasul, tidak mengabaikan syariat. Untuk memberi pemahaman yang lebih jauh
tentang mahabbah bagi orang yang ingin mengetahuinya dengan merinci
unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada tiga simbol mahabbah, yaitu
ridha terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu
yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentuka pilihan dan terhadap
hal-hal yang yang diperingatkan.
Dalam salah satu
do’anya, Al-Mishri berkata, “ Ya Allah, sesungguhnya Rahmatmu yang luas lebih
kami dambakan daripada amal yang kami lakukan, dan kami lebih mengharapkan
ambunan-Mu daripada siksa-Mu.”
D. Abu Yazid Al-Bustami
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan
Al-Bustahi. Ia lahir di daerah Bustam (persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya
adalah Taifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster,
kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk
orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam
kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayinya
yang dalam kandungan akan memberontak sampai muntah jika sang ibu memakan
makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat
usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak
yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orangtuanya. Suatu
kali gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat luqman, “berterima
kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat
menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya
untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap
panggilan Allah.
Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang
fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali
As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu-ilmu lainnya
kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufu Abu Yazid tidak ditemukan dalam
bentuk buku.
Dalam menjalani
kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di
Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan, dan minum.
2. Ajaran Tasawuf Abu yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana dan baqa.
Dari segi bahasa fana berasal dari kata faniya, yang berarti
musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan
sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi
mendefinisikannya, “ hilangya semuua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada
pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan dari segala
perasaanya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah
menghilangkkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah
meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Dari segi
bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti
mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat
dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya merupakan faham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga
ia sedang menjalani baqa’.
Ittihad adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’.
Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak
ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat
sulit dipraktikkan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu
dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad
banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan.
Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun
perbuatannya. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah satu
tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu
tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah
satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai, aku.”
Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang
dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah
satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad
bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau
tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam Tuhan. Dalam ittihad, “identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan,
karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan
nama Tuhan.
Dengan fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke
hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syathahat
yang diucapkannya. Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan
seorang sufi krtika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan
demikian belum pernah di dengar dari sufi.
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau di dengar secara sepintas
akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu,
dalam sejarah, diantara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan
disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan.
E. Abu Manshur Al-Hallaj
1. Riwayat Hidup
Nama lengkap
Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi.
Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255
M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia
belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi
di Ahwaz. Dua tahu kemudian, ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr
Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Baghdad dan
belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke
negeri lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia
digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Dalam semua
perjalanan dan pengembarannya ke berbagai kawasan islam, seperti Khurasan,
Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia
kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 196 H/909 M. Di Baghdad, para
pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap
kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia
bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nash Al-Qusyairi, yang
meningkatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih.
Al-Hallaj selalu
mendorong sahabatnya untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu
melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan
‘pemerintahan yang bersih’ dari Nasr Al-Qushuri dan Al-Hallaj ini jelas
berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata
dan hanya merupakan lambang. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan
tasawuf tumbuh dengan subur. Oleh karena itu, pemerintah sangat khawatir
terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam
struktur politik.
Oleh karena itu,
ucapan Al-Hallaj, “Ana al-haqq” yang konon tidak bisa dimaafkan para
ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk
menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari
penjara berkat pertolongan sopir penjara. Akan tetapi, empat tahun kemudian, ia
tertangkap lagi di kota sus.
Setelah dipenjara
selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk
seribu kali, tetapi ia mengaduh kesakitan, lalu kepalanya dipenggal. Sebelum di
penggal, ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah shalat,
kaki dan tangannya di potong, badannya digulung dalam tikar bambu, lalu dibakar
dan abunya di buang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk
dipertontonkan. Akhirnya, Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
Kematian tragis
Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya.
Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya, di
Irak ada 4.000 orang yang menamakan dirinya ‘Hallajiah’. Disisi lain,
pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai
hubungan dengan gerakan qaramitah.
2. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Diantara ajaran
tasawuf Al-hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat
asy-syuhud, yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu
dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian
bahasa, adalah menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul
berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
unutk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di
dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya terdapat
sifat-sifat ketuhanan.bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud
kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah,Al-Hajjaj
memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat
demikian karena sebelum menjadikan makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan
ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan
cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia
mengeluarkan sesuatu dari taiada dalam bentuk copy diri-Nya yang
mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri
Adamlah Allah muncul.
Al-Hallaj hendak memperlihatkan bahwa tuhan mempunyai dua sifat
dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut).
Jika nasut Allah mengandung tabiat sepeti manusia yang terdiri dari roh
dan jasad, lahat tidak dapat bersatu dengan manusia,kecuali dengan cara
menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi
pada diri Isa.
Dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat
terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu,manusia harus
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya
hilang dan yang ada hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat
mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia
bersatu dalam tubuuh manusia.
Menurut Al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total
kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah
kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Dangan demikian, Al-Hallaj
sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan.[5]
Kesimpulan
Disamping ada
tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran,keikhlasan, dan
berkata benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi, yang disebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya
mambahas soal keihklasan dalam hubungan antarmanusia, tetapi lebih jauh
menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan.
Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, di
antaranya Rabi’ah Al-Adawiyyah, yang tercatat dalam perkembangan mistisme Islam
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah.
Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu
Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’.
Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
Daftar Pustaka
·
Anwar Rosihon. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2009.
·
Anwar, Rosihon
dan Muhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000.
·
http://www.ikhsanudin.com/2010/11/tasauf-irfani-dan-tokoh-tokohnya.html
·
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/05/makalah-tokoh-tokoh-tashawuf-irfani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar