Kamis, 12 Mei 2016

Tasawuf Irfani



TASAWUF IRFANI
A. Pendahuluan
            Di samping tasawuf akhlaqi yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak ingin dipuji, atau jika di puji pun, tidak pernah berubah, dan bila dicaci maki pun tak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah.[1]
            Secara etimologi, kata ‘irfan merupakan kata jadian mashdar dari kata ‘arafa’ (mengenal atau pengenalan). Adapun secara terminologis ‘irfan di identikan dengan ma’rifat sufistik.Orang yang ‘irfan atau makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyuf (ketersingkapan).[2]
            Tokoh-tokoh sufi yang termasuk ke dalam Aliran tasawuf irfaniadalah Rabi’ah Al-adawiyyah dengan konsep mahabban-nya, Dzun An-Nun Al-Mishri dengan paham makrifat-nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan paham fana’ dan baqa’, dan Abu Manshur Al-Hallaj dengan paham Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud.
            Untuk lebih memahami tasawuf irfani, berikut ini dikemukakan biografi tokoh-tokoh tasawuf irfani dan ajaran-ajarannya.
B. Rabi’ah Al-Adawiyah
1. Riwayat Hidup
            Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/717 M disebuah perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tua nya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-‘Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
            Setelah dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia memperbanyak tobat menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan, dalam do’anya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
            Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah, menurtnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan  hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah
            Rabi’ah Al-Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme islam sebagai peletak dasar Tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan penghargaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
            Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan do’anya, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintaimu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada kami.”
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling Masyhur adalah:
Aku mencintaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena dirimu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkanmu.
Cinta karena dirimu adalah keadaan mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat.
Baik ini maupun itu, pujianlah bukanlah bagiku.
Bagimu pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hubb al-hawa dan hubb anta ahl lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qubub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa cinta yang timbul berasal dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah, sedangkan yang dimaksud dengan nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual, sehingga hubb disini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah, dan tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicinta. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cintanya kepada Dzat yang dicintai.
            Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut:
“ mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunianya di dunia ini, sedangkan cinta kepadanya adalah karena layak dicintai keindahan dan keagungannya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam Hadis Qudsi, ‘ bagi hamba-hambaku yang saleh, Aku menyiapkan Apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit di kalbu manusia’.”
Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama Allah. [3]
C. Dzun An-Nun Al-Mishri
1. Riwayat Hidup
            Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan).[4] Dzun An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal disekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzun An-Nun diberikan padanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya, ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam jeadaan selamat disungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
            Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tatapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya ber[indah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilnu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadir dari Malik, Al-Laits, dan lain-lain. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Hal ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
            Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf.  Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
            Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai tuduhan Zindiq. Akibatnya, ia pernah dipanggil mengahadap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Mishri
a. Pengertian Makrifat menurut Dzu An-Nun Al-Mishri
            Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang maqrifat dalam bidang sufisme islam. Pertama, ia membedakan antara makrifat sufiyah dan makrifat aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyyah (penyaksian hati) sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia secara azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri merupakan gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah  dalam tasawuf.
            Pandangan Al-Mishri tentang makrifat pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog. Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq. Karena itu pula, ia ditangkap khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangan tentang makrifat:
1.  Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah imu tentang keesaan tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin. Bukan pula ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki oleh para wali Allah. Hal itu karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambanya yang lain.
2. Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu denga cahaya makrifat yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaanya, mereka merasa hamba, mereka berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah kepada lidah mereka, mereka menglihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan peerbuatan Allah.
            Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam,yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim.
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama.
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
            Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam dalam kategori pengetahuan hakiki tentang tuhan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri memiliki sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks ajarannya, Abdul Halim Mahmud menggambarkan sistematika Al-Mishri  sebagai berikut:
1. Ketika ditanya  tentang siapa sebenarnya  orang bodoh itu, Al-Mishri menjawab, “Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya.”
2. Al-Mishri mengatakan bahwa jalan menuju Allah itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah dan thariq al-ithiba’.
2. Di sisi lain Al-Mishri mengatakan bahwa manusia terdiri atas dua macam, yaitu darij dan wasil.
             Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-maqrifat, Al-Mishri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-nya yang terdapat dialam semesta dan makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan  pemberian Tuhan, rahmat, dan nikmatnya.
            Adapun tanda-tanda bahwa seorang itu arif, menurut Al-Mishri adalah sebagai berikut:
1. Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
2. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
3. Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
b. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal.
            Pandangan Al-Mishri tentang maqamat dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridha. Dalam dairah Al-Ma’rifat Al-Islamiyat terdapat keterangan yang berasal dari Al-Mishri, yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
            Menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khusus. Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai dosa oleh al-muqabarin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-junaidi bahwa tobat adalah ‘engkau melupakan dosamu’. Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan.
            Lebih lanjut, Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
·         Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya.
·         Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
·         Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat sebagai keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebut diatas. Pada pembagian ini, Al-Mishri membagi lago orang khawas menjadi dua bagian, sehingga jenis tobat dibedakan menjadi tiga macam. Perkembangan pemikiran itu merupakan salah satu refleksi dari proses pencarian hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual.
            Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika, ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar bagi orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu kemudian menimpal, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
            Berikut ini sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya dibelenggu sambil dibawa kehadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia bekata, “Ini adalah salah satu pemberi Tuhan karunia-nya. Senua perbuatan tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.”
Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Mishri mendefinisikan sebagai ‘berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intiya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau ‘mati’. Ungkapan seperti ini dikemukakan oleh Abu Ya’qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakkal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
            Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qannad, ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata. Al-Mishri memilih kata ‘surur al-qalb’ untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qannad memilih kata ‘sukun al-qalb’.
            Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW. Dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunahnya. Artinya, orang-orang yang mencintai Allah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul, tidak mengabaikan syariat. Untuk memberi pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah bagi orang yang ingin mengetahuinya dengan merinci unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada tiga simbol mahabbah, yaitu ridha terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentuka pilihan dan terhadap hal-hal yang yang diperingatkan.
            Dalam salah satu do’anya, Al-Mishri berkata, “ Ya Allah, sesungguhnya Rahmatmu yang luas lebih kami dambakan daripada amal yang kami lakukan, dan kami lebih mengharapkan ambunan-Mu daripada siksa-Mu.”
D. Abu Yazid Al-Bustami
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustahi. Ia lahir di daerah Bustam (persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayinya yang dalam kandungan akan memberontak sampai muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
            Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orangtuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat luqman, “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
            Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufu Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
            Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan, dan minum.
2. Ajaran Tasawuf Abu yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana dan baqa. Dari segi bahasa fana berasal dari kata faniya, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi mendefinisikannya, “ hilangya semuua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan dari segala perasaanya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikkan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai, aku.” Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam Tuhan. Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dengan fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang diucapkannya. Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi krtika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan demikian belum pernah di dengar dari sufi.
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau di dengar secara sepintas akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah, diantara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan.
E. Abu Manshur Al-Hallaj
1. Riwayat Hidup
            Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahu kemudian, ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
            Dalam semua perjalanan dan pengembarannya ke berbagai kawasan islam, seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 196 H/909 M. Di Baghdad, para pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nash Al-Qusyairi, yang meningkatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih.
            Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan ‘pemerintahan yang bersih’ dari Nasr Al-Qushuri dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur. Oleh karena itu, pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur politik.
            Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj, “Ana al-haqq” yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara. Akan tetapi, empat tahun kemudian, ia tertangkap lagi di kota sus.
            Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali, tetapi ia mengaduh kesakitan, lalu kepalanya dipenggal. Sebelum di penggal, ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah shalat, kaki dan tangannya di potong, badannya digulung dalam tikar bambu, lalu dibakar dan abunya di buang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Akhirnya, Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
            Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya, di Irak ada 4.000 orang yang menamakan dirinya ‘Hallajiah’. Disisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan qaramitah.
2. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
            Diantara ajaran tasawuf Al-hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud, yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, adalah menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu unutk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan.bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah,Al-Hajjaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari taiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adamlah Allah muncul.
Al-Hallaj hendak memperlihatkan bahwa tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat sepeti manusia yang terdiri dari roh dan jasad, lahat tidak dapat bersatu dengan manusia,kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa.
Dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu,manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan yang ada hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuuh manusia.
Menurut Al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Dangan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan.[5]




Kesimpulan
            Disamping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran,keikhlasan, dan berkata benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi, yang disebut  tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya mambahas soal keihklasan dalam hubungan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, di antaranya Rabi’ah Al-Adawiyyah, yang tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
Daftar Pustaka
·         Anwar Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2009.
·         Anwar, Rosihon dan Muhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000.
·         http://www.ikhsanudin.com/2010/11/tasauf-irfani-dan-tokoh-tokohnya.html
·         http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/05/makalah-tokoh-tokoh-tashawuf-irfani.html




[1] Rosihun Anwar. Akhlak tasawuf, Bandung : Pustaka Setia. 2009. Hlm 139
[2] http://www.ikhsanudin.com/2010/11/tasauf-irfani-dan-tokoh-tokohnya.html

[3] Ibid., hlm 139-143
[4] http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/05/makalah-tokoh-tokoh-tashawuf-irfani.html

[5] Ibid., hlm 144-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar